Langsung ke konten utama

Goresan Tinta di Ujung Tahun / Izza Nur Laila, S.Ag.

Desember selalu hadir sebagai penutup tahun yang penuh renungan. Bagi seorang guru, khususnya guru mata pelajaran Al-Qur'an Hadits, bulan ini bukan sekadar pergantian waktu, tetapi momentum kembali menata hati, menilai amal, dan menyusun langkah menuju tahun berikutnya. Dalam perjalanan panjang selama satu tahun pembelajaran, banyak cerita, perjuangan, dan hikmah yang patut diabadikan menjadi goresan tinta penuh pelajaran. Dalam perspektif ajaran Islam, setiap pergantian waktu sesungguhnya merupakan tanda kebesaran Allah. Allah berfirman dalam QS. Yunus ayat 6, "Sesungguhnya pada pergantian malam dan siang, dan pada apa yang diciptakan Allah di langit dan bumi, terdapat tanda-tanda bagi kaum yang bertakwa." Ayat ini mengingatkan bahwa hadirnya bulan Desember sebagai akhir tahun adalah kesempatan bagi pendidik dan peserta didik untuk merenungi perjalanan hidup. Apa yang sudah dilakukan? Apa yang masih tertunda? Dan apa yang harus diperbaiki? Sebagai guru Al-Qur'an...

Pancasilaku, Jiwaku / Hermawan S., S.Pd., M.Pd.

Pancasila adalah dasar negara Indonesia, fondasi utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, Pancasila bukan sekadar deretan lima sila yang dihafal dalam pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Lebih dari itu, Pancasila adalah jiwa bangsa, panduan moral, dan nilai-nilai luhur yang harus dihayati dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari oleh setiap warga negara, terutama generasi muda. Dalam konteks ini, "Pancasilaku, Jiwaku" bukan hanya semboyan, melainkan pernyataan komitmen untuk menjadikan Pancasila sebagai napas dan ruh dalam bertindak dan bersikap.

Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, mengajarkan pentingnya keimanan dan toleransi antar umat beragama. Dalam kehidupan saya, sila ini tercermin dalam sikap saling menghormati keyakinan orang lain, tidak memaksakan kepercayaan pribadi, dan menjaga kerukunan hidup antar umat beragama. Saya percaya bahwa keberagaman agama di Indonesia bukan penghalang, melainkan kekayaan yang mempererat persatuan jika dijalani dengan sikap saling menghargai.

Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, mengingatkan saya untuk selalu menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Dalam keseharian, saya berusaha menumbuhkan empati kepada sesama, menolak segala bentuk kekerasan, diskriminasi, dan ketidakadilan. Jiwa kemanusiaan saya tergerak ketika melihat ketimpangan sosial, dan saya merasa terpanggil untuk membantu, sekecil apa pun bentuknya, demi menciptakan kehidupan yang lebih adil.

Sila ketiga, Persatuan Indonesia, adalah pengikat seluruh elemen bangsa yang beragam suku, agama, budaya, dan bahasa. Persatuan bukan berarti menyeragamkan perbedaan, melainkan menjadikannya kekuatan dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika. Dalam kehidupan saya, saya berusaha menjaga persatuan dengan menolak provokasi yang mengarah pada perpecahan, serta menjunjung tinggi semangat gotong royong sebagai wujud cinta tanah air.

Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, mengajarkan pentingnya demokrasi, musyawarah, dan kebijaksanaan. Dalam organisasi sekolah atau kegiatan komunitas, saya selalu berusaha menjadi pendengar yang baik, menghargai pendapat orang lain, dan mencari solusi bersama dalam setiap perbedaan. Demokrasi tidak hanya soal memilih pemimpin, tapi juga cara kita membangun keputusan yang adil dan bijaksana.

Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, adalah tujuan luhur yang harus diwujudkan. Dalam hidup saya, saya menanamkan prinsip bahwa setiap orang berhak mendapatkan kesempatan yang sama. Saya mencoba menjadi pribadi yang tidak memandang status sosial, dan mendorong terciptanya lingkungan yang inklusif, adil, serta bebas dari eksploitasi dan penindasan.

Pancasila bukan hanya teks yang terpampang di dinding sekolah atau dibacakan saat upacara bendera. Pancasila hidup dalam tindakan sederhana: menghormati guru, membantu teman, jujur dalam ujian, tidak menyebar hoaks, atau aktif dalam kegiatan sosial. Semua itu adalah bentuk nyata dari implementasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.

Di era globalisasi dan digitalisasi seperti sekarang, tantangan terhadap nilai-nilai Pancasila semakin besar. Arus informasi yang tak terbendung membawa nilai-nilai asing yang tidak selalu sejalan dengan karakter bangsa. Oleh karena itu, saya percaya bahwa menjadikan Pancasila sebagai jiwa dalam setiap tindakan adalah cara terbaik untuk menjaga jati diri Indonesia. "Pancasilaku, Jiwaku" bukan hanya pengakuan, tapi tekad untuk terus menghidupi nilai-nilai luhur bangsa di tengah dinamika zaman.

Sebagai generasi muda, saya merasa memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan mengamalkan Pancasila. Saya ingin menjadi bagian dari generasi yang tidak hanya memahami Pancasila, tetapi juga menjadikannya pedoman hidup. Dengan begitu, saya percaya bahwa Indonesia akan menjadi bangsa yang kokoh, adil, dan bermartabat, sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa.

 

 

@maone_Juni_2025

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendidikan: Pondasi Pembentukan Karakter dan Kepribadian Bangsa

Pendidikan merupakan elemen penting dalam membentuk karakter dan kepribadian suatu bangsa. Tidak hanya sekadar proses transfer pengetahuan, pendidikan juga berfungsi sebagai dasar pembentukan nilai-nilai moral, etika, dan identitas yang akan menjadi panduan hidup masyarakat di masa depan. Di Indonesia, pendidikan memegang peranan strategis dalam membentuk karakter bangsa yang bermartabat, toleran, dan berkepribadian kuat, serta mampu bersaing dalam kancah global. Karakter bangsa yang kokoh berawal dari pendidikan yang berkualitas dan berbasis nilai-nilai luhur. Dalam konteks ini, pendidikan bukan hanya berfokus pada aspek intelektual, tetapi juga pada pembentukan sikap, perilaku, dan kemampuan berinteraksi yang baik dalam masyarakat. Pendidikan karakter yang diterapkan di sekolah-sekolah di Indonesia, baik di tingkat dasar, menengah, maupun tinggi, harus dapat menanamkan nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, disiplin, gotong-royong, dan cinta tanah air. Nilai-nilai ini akan me...

"Healing" Liburan, "Gass" PPG! / Enki Dani Nugroho, S.Pd. M.Pd.

Libur semester seringkali identik dengan waktu untuk santai, tidur lebih lama, jalan-jalan, atau sekadar rebahan tanpa merasa bersalah. Tapi bagi peserta Pendidikan Profesi Guru (PPG), liburan bukan berarti sepenuhnya berhenti dari perjuangan. Inilah momen "healing", tapi tetap gass alias tetap produktif dengan cara yang menyenangkan dan tidak menguras tenaga seperti biasanya. Healing bukan sekadar pelesiran ke tempat wisata, tetapi bagaimana mengistirahatkan pikiran dari tekanan, sekaligus tetap menjaga ritme semangat belajar. Jadi, meski liburan, peserta PPG bisa tetap menyusun rencana, membuka kembali catatan materi, atau mengulas portofolio secara santai. Caranya? Duduk di teras rumah, ditemani secangkir kopi dan suara alam, sambil baca modul atau nonton ulang rekaman perkuliahan. Serius tapi santai, gass tapi tetap healing!. Bagi sebagian peserta, healing justru datang saat bisa berkarya di tengah liburan. Membuat media ajar interaktif, mencoba AI dalam menyusun bahan pe...