Pembelajaran sejatinya bukan hanya proses transfer ilmu, melainkan juga pembentukan karakter dan penghargaan terhadap nilai-nilai keindahan hidup. Dua aspek penting yang seharusnya tidak dipisahkan dari praktik pendidikan adalah etika dan estetika. Etika berhubungan dengan moral, sikap, dan perilaku yang mencerminkan tanggung jawab serta integritas. Estetika, di sisi lain, berkaitan dengan apresiasi terhadap keindahan, kreativitas, dan harmoni dalam proses belajar. Pertanyaan yang muncul kemudian: "Apakah mungkin terjadi defisiensi atau kekurangan serius dalam aspek etika dan estetika di dunia pembelajaran?"
Defisiensi etika dalam pembelajaran dapat terlihat dari berkurangnya kejujuran akademik, seperti maraknya plagiarisme, kecurangan saat ujian, hingga sikap tidak menghargai guru dan teman. Jika dibiarkan, hal ini akan melahirkan generasi yang cerdas secara intelektual, namun rapuh secara moral. Pendidikan kehilangan maknanya ketika hanya mengejar hasil, tanpa menumbuhkan nilai-nilai tanggung jawab dan empati.
Sementara itu, defisiensi estetika tampak ketika proses pembelajaran kering dari kreativitas, inovasi, dan rasa keindahan. Ruang belajar yang monoton, metode pengajaran yang kaku, serta materi yang disampaikan tanpa sentuhan imajinasi membuat siswa sulit merasakan kebahagiaan dalam belajar. Padahal, estetika penting untuk menumbuhkan semangat, motivasi, dan kemampuan berpikir kreatif. Belajar tanpa estetika hanya akan menghasilkan rutinitas mekanis yang membosankan.
"Akankah defisiensi etika dan estetika benar-benar terjadi?" Jawabannya bergantung pada kesadaran bersama. Jika pendidikan hanya dipandang sebagai alat mengejar nilai atau karier, kemungkinan besar defisiensi tersebut tidak terelakkan. Namun, jika guru, siswa, dan institusi pendidikan berkomitmen menjaga keseimbangan antara pengetahuan, moralitas, dan keindahan, maka pembelajaran dapat tetap utuh dan bermakna.
Oleh karena itu, solusi yang diperlukan adalah mengintegrasikan etika dan estetika dalam setiap aspek pembelajaran. Guru tidak hanya menjadi pengajar, tetapi juga teladan etika. Kurikulum tidak sekadar memuat fakta, tetapi juga memberi ruang bagi seni, imajinasi, dan penghargaan terhadap keindahan. Dengan demikian, pendidikan mampu melahirkan manusia seutuhnya: cerdas, beretika, dan berestetika.
Komentar
Posting Komentar