Proses belajar seseorang tidak terbatas pada kegiatan pembelajaran di dalam kelas. Kita dapat belajar dari mana saja, kapan saja, dan dengan siapa saja. Pada kesempatan kali ini, saya mendapatkan pengalaman untuk berbagi pengalaman dengan teman-teman dari Museum Huruf Jember. Museum Huruf Jember adalah museum khusus yang memberikan informasi tentang aksara dan dialektik dari beragam masyarakat di Nusantara. Saya mendapatkan kesempatan untuk menjadi narasumber Workshop Aksara Jawa dan Cukil Kayu yang dilaksanakan pada 5 September 2025 di Museum Huruf Jember dalam rangka memperingati Hari Aksara Nusantara Tahun 2025 dan Pekan Aksara ke-8.
Kesempatan ini saya gunakan untuk berbagi pengalaman dan ilmu dengan teman-teman Museum Huruf tentang makna filosofis aksara Jawa, cara menulis aksara Jawa, dan pelatihan mencukil atau memahat aksara Jawa di media kayu dan kerdus. Aksara Jawa yang kita kenal sekarang ini bukan hanya sekadar huruf untuk menulis saja, tetapi memiliki nilai filosofis dan sejarah yang panjang, bermula dari aksara Kawi yang merupakan turunan aksara Pallawa dari India. Pada zaman dulu, aksara Jawa digunakan sebagai aksara tulis untuk menuliskan berbagai karya sastra, dokumen kerajaan, hingga manuskrip keagamaan.
Selain berguna sebagai aksara tulis, aksara Jawa juga memiliki nilai estetika dan filosofis yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Misalnya adalah penulisan aksara Jawa yang ditulis lima mendatar dan sebanyak empat baris. Hal ini bukan hanya sekadar penataan tanpa makna, tetapi berkaitan dengan kepercayaan masyarakat Jawa yaitu sedulur papat kalima pancer.
Sedulur papat kalima pancer: empat saudara dan penuntun sebagai saudara kelima. Nafsu empat adalah amarah, luamah, supiyah, dan mutmainah. Amarah dilambangkan oleh buta Rambut Geni, supiyah oleh buta Cakil, luamah oleh Kala Pragalba, dan mutmainah oleh buta Terong. Keempat buta tersebut selalu kadang menghadang seorang satria yang baru pulang dari hutan setelah menemui bertapa atau menemui gurunya. Hal ini melambangkan seorang manusia yang mempunyai tujuan akan selalu mendapatkan godaan, ada selalu menghalangi langkahnya. Dalam filsafat Jawa, baik-buruknya tingkah laku manusia selalu dikaitkan dengan berbagai keinginan yang berhubungan dengan nafsu amarah, luamah, supiyah, dan mutmainah. Nafsu mutmainah selalu berhadapan dengan nafsu amarah, luamah dan supiyah. Perbuatan baik selalu mendapatkan halangan atau godaan yang lebih banyak. Dalam hal ini satu berbanding dengan tiga. Meskipun demikian, nafsu adalah hal wajar yang dimiliki oleh manusia, hasilnya adalah tergantung dari bagaimana manusia tersebut dapat mengendalikan nafsu-nafsunya.
Komentar
Posting Komentar