Langsung ke konten utama

Goresan Tinta di Ujung Tahun / Izza Nur Laila, S.Ag.

Desember selalu hadir sebagai penutup tahun yang penuh renungan. Bagi seorang guru, khususnya guru mata pelajaran Al-Qur'an Hadits, bulan ini bukan sekadar pergantian waktu, tetapi momentum kembali menata hati, menilai amal, dan menyusun langkah menuju tahun berikutnya. Dalam perjalanan panjang selama satu tahun pembelajaran, banyak cerita, perjuangan, dan hikmah yang patut diabadikan menjadi goresan tinta penuh pelajaran. Dalam perspektif ajaran Islam, setiap pergantian waktu sesungguhnya merupakan tanda kebesaran Allah. Allah berfirman dalam QS. Yunus ayat 6, "Sesungguhnya pada pergantian malam dan siang, dan pada apa yang diciptakan Allah di langit dan bumi, terdapat tanda-tanda bagi kaum yang bertakwa." Ayat ini mengingatkan bahwa hadirnya bulan Desember sebagai akhir tahun adalah kesempatan bagi pendidik dan peserta didik untuk merenungi perjalanan hidup. Apa yang sudah dilakukan? Apa yang masih tertunda? Dan apa yang harus diperbaiki? Sebagai guru Al-Qur'an...

Kelas Tanpa Teriakan: Strategi Mewujudkan Sekolah Ramah Anak

Sekolah merupakan rumah kedua bagi anak-anak, tempat mereka belajar, tumbuh, dan berkembang. Namun, tidak jarang suasana kelas masih diwarnai dengan teriakan, baik dari guru kepada siswa maupun antar siswa sendiri. Teriakan yang bernuansa marah atau penuh emosi seringkali menimbulkan rasa takut, cemas, bahkan menurunkan motivasi belajar anak. Oleh karena itu, penting untuk membangun konsep kelas tanpa teriakan sebagai strategi nyata mewujudkan sekolah ramah anak.

Kelas tanpa teriakan bukan berarti menghilangkan ketegasan guru, melainkan mengganti pola komunikasi yang keras dengan pendekatan yang lebih humanis, sabar, dan menghargai martabat anak. Guru dapat menegakkan aturan kelas dengan cara yang lebih konstruktif, seperti memberikan contoh nyata, membangun kesepakatan bersama siswa, serta memberi konsekuensi yang mendidik tanpa harus menggunakan suara tinggi. Dengan begitu, suasana kelas tetap tertib namun tetap hangat dan menyenangkan.

Strategi pertama yang dapat dilakukan adalah mengedepankan komunikasi positif. Guru sebaiknya menggunakan kata-kata yang memotivasi dan menghargai usaha siswa. Alih-alih berteriak ketika siswa melakukan kesalahan, guru bisa mendekati secara personal, memberikan arahan dengan nada lembut, atau menggunakan bahasa tubuh yang menenangkan. Hal ini akan membuat anak merasa dihargai, bukan ditakuti.

Kedua, penting untuk membangun budaya disiplin berbasis kesepakatan. Sebelum memulai pembelajaran, guru dan siswa dapat menyusun aturan kelas bersama-sama. Dengan begitu, anak merasa dilibatkan dan memiliki tanggung jawab untuk menaatinya. Disiplin yang lahir dari kesadaran bersama akan jauh lebih efektif dibandingkan disiplin yang dipaksakan melalui teriakan.

Ketiga, guru perlu mengembangkan keterampilan manajemen kelas yang kreatif. Misalnya, menggunakan metode pembelajaran aktif, permainan edukatif, atau kegiatan kelompok yang membuat anak terlibat secara penuh. Kelas yang interaktif akan meminimalkan potensi kebosanan dan gangguan, sehingga tidak perlu ada teriakan untuk mengendalikan suasana.

Selain guru, sekolah juga harus mendukung terciptanya budaya ramah anak melalui pelatihan dan pembinaan berkelanjutan. Dukungan dari kepala sekolah, tenaga kependidikan, dan orang tua akan memperkuat upaya menciptakan lingkungan belajar yang bebas dari kekerasan, baik fisik maupun verbal.

Kelas tanpa teriakan pada akhirnya akan melahirkan suasana belajar yang harmonis. Anak-anak merasa lebih aman, percaya diri, dan termotivasi untuk belajar. Lebih dari itu, mereka belajar bahwa menghargai orang lain tidak perlu dilakukan dengan suara keras, melainkan dengan sikap sabar dan penuh kasih. Inilah esensi dari sekolah ramah anak: menghadirkan ruang belajar yang tidak hanya mencerdaskan, tetapi juga menumbuhkan hati dan jiwa anak dengan penuh cinta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendidikan: Pondasi Pembentukan Karakter dan Kepribadian Bangsa

Pendidikan merupakan elemen penting dalam membentuk karakter dan kepribadian suatu bangsa. Tidak hanya sekadar proses transfer pengetahuan, pendidikan juga berfungsi sebagai dasar pembentukan nilai-nilai moral, etika, dan identitas yang akan menjadi panduan hidup masyarakat di masa depan. Di Indonesia, pendidikan memegang peranan strategis dalam membentuk karakter bangsa yang bermartabat, toleran, dan berkepribadian kuat, serta mampu bersaing dalam kancah global. Karakter bangsa yang kokoh berawal dari pendidikan yang berkualitas dan berbasis nilai-nilai luhur. Dalam konteks ini, pendidikan bukan hanya berfokus pada aspek intelektual, tetapi juga pada pembentukan sikap, perilaku, dan kemampuan berinteraksi yang baik dalam masyarakat. Pendidikan karakter yang diterapkan di sekolah-sekolah di Indonesia, baik di tingkat dasar, menengah, maupun tinggi, harus dapat menanamkan nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, disiplin, gotong-royong, dan cinta tanah air. Nilai-nilai ini akan me...

"Healing" Liburan, "Gass" PPG! / Enki Dani Nugroho, S.Pd. M.Pd.

Libur semester seringkali identik dengan waktu untuk santai, tidur lebih lama, jalan-jalan, atau sekadar rebahan tanpa merasa bersalah. Tapi bagi peserta Pendidikan Profesi Guru (PPG), liburan bukan berarti sepenuhnya berhenti dari perjuangan. Inilah momen "healing", tapi tetap gass alias tetap produktif dengan cara yang menyenangkan dan tidak menguras tenaga seperti biasanya. Healing bukan sekadar pelesiran ke tempat wisata, tetapi bagaimana mengistirahatkan pikiran dari tekanan, sekaligus tetap menjaga ritme semangat belajar. Jadi, meski liburan, peserta PPG bisa tetap menyusun rencana, membuka kembali catatan materi, atau mengulas portofolio secara santai. Caranya? Duduk di teras rumah, ditemani secangkir kopi dan suara alam, sambil baca modul atau nonton ulang rekaman perkuliahan. Serius tapi santai, gass tapi tetap healing!. Bagi sebagian peserta, healing justru datang saat bisa berkarya di tengah liburan. Membuat media ajar interaktif, mencoba AI dalam menyusun bahan pe...