Satu Bahasa, Satu Bangsa: Refleksi dan Upaya Memperkaya Khazanah Bahasa Indonesia/Ahmad Taqiyyudin, S.Pd.
Sumpah Pemuda pada tahun 1928 telah mengikrarkan sebuah janji suci: "Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa: Bahasa Indonesia." Ikrar ini bukan sekadar pernyataan linguistik, melainkan sebuah fondasi ideologis yang mempersatukan ribuan pulau dan ratusan suku dengan keanekaragaman bahasa daerahnya. Bahasa Indonesia lahir sebagai alat pemersatu yang melampaui sekat-sekat etnis dan menjadi simbol identitas nasional yang tak ternilai. Refleksi kita hari ini harus menempatkan bahasa nasional pada posisi tertinggi sebagai penjaga persatuan dan kedaulatan.
Secara historis, Bahasa Indonesia, yang berakar dari Bahasa Melayu, dipilih karena sifatnya yang inklusif, sederhana, dan sudah akrab digunakan sebagai bahasa perdagangan (lingua franca). Keunggulan inilah yang memungkinkannya diterima secara luas oleh masyarakat. Di era kemerdekaan, peran Bahasa Indonesia semakin krusial, menjadi bahasa pengantar pendidikan, administrasi, dan media massa, menjadikannya urat nadi komunikasi bangsa.
Namun, di tengah gempuran globalisasi dan pesatnya teknologi, tantangan terhadap Bahasa Indonesia semakin nyata. Pengaruh masif bahasa asing, terutama bahasa Inggris, sering kali mengaburkan penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, terutama di kalangan generasi muda. Pencampuran kode (code mixing) dan penggunaan istilah asing yang tidak perlu menjadi refleksi bahwa kita perlu memperkuat kembali kecintaan dan kebanggaan terhadap bahasa sendiri.
Oleh karena itu, upaya memperkaya dan memajukan khazanah Bahasa Indonesia adalah tanggung jawab kolektif. Upaya ini harus dilakukan secara sistematis melalui tiga pilar utama. Pertama, Pendidikan dan Literasi. Sekolah dan perguruan tinggi wajib memperkuat pembelajaran Bahasa Indonesia, bukan hanya sebagai mata pelajaran, tetapi sebagai cara berpikir. Kedua, Pembakuan dan Pengembangan. Badan Bahasa harus terus aktif menyusun kamus, pedoman, dan istilah-istilah baru untuk menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga Bahasa Indonesia tetap relevan dan mampu menampung konsep-konsep modern. Ketiga, Penggunaan di Ruang Publik. Pemerintah, media, dan pelaku usaha harus menjadi teladan dalam menggunakan Bahasa Indonesia yang tepat di papan nama, iklan, dan komunikasi resmi.
Pada akhirnya, memperkaya khazanah Bahasa Indonesia berarti memastikan bahwa bahasa ini mampu menjadi medium yang tangguh untuk ilmu pengetahuan, seni, dan peradaban. Dengan mencintai, menggunakan, dan membanggakan Bahasa Indonesia, kita tidak hanya melestarikan warisan leluhur, tetapi juga mengukuhkan janji "Satu Bahasa, Satu Bangsa" bagi masa depan Indonesia yang berdaulat dan bermartabat.
Komentar
Posting Komentar