Pagi itu, di Madrasah Tsanawiyah Negeri 7 Jember, suara langkah-langkah siswa berpadu dengan riuh canda di lorong kelas. Di ruang 7A, papan tulis sudah penuh dengan angka dan simbol. Namun yang membuat suasana berbeda bukanlah rumusnya, melainkan sosok di depan kelas—Bu Kholis, guru matematika yang dikenal kreatif dan penuh semangat.
Bagi sebagian siswa, matematika adalah momok menakutkan. Tapi di tangan Bu Kholis, angka-angka seolah menari, berubah menjadi kisah yang hidup. Ia selalu berkata, "Matematika bukan sekadar hitung-hitungan, tapi cara berpikir, cara memahami kehidupan."
Hari itu, ia mengawali pelajaran dengan sesuatu yang tak biasa. Di meja setiap kelompok, sudah tersedia potongan kertas warna, tali, dan sedotan. "Hari ini kita tidak hanya belajar bangun ruang," katanya sambil tersenyum, "kita akan membangunnya."
Siswa pun bekerja sama membuat prisma dan limas dari bahan sederhana. Tawa memenuhi ruangan. Keisya, yang biasanya diam dan takut salah, kini berani bertanya. "Bu, kalau rusuknya kita tambah, volumenya berubah, ya?" tanyanya penuh rasa ingin tahu. Bu Kholis menepuk pundaknya pelan. "Pertanyaan bagus! Itulah awal dari berpikir ilmiah. Matematika bukan hafalan, tapi penemuan."
Setelah kegiatan selesai, Bu Kholis mengajak mereka keluar kelas. Ia menunjuk bayangan tiang bendera. "Sekarang kita hitung tinggi tiang ini tanpa memanjatnya." Dengan bantuan penggaris kecil dan rumus perbandingan segitiga, siswa mempraktikkan konsep trigonometri sederhana. Mereka terkesima. Matematika ternyata bisa menyatu dengan dunia nyata.
Suatu ketika, madrasah mengadakan lomba inovasi pembelajaran. Bu Kholis tidak menyiapkan alat canggih. Ia hanya membawa papan tulis digital sederhana dan sebuah permainan yang ia ciptakan sendiri: "Math Adventure Board"—permainan strategi yang menggabungkan soal matematika dengan petualangan berpikir. Setiap langkah di papan berarti satu tantangan logika, dan setiap jawaban benar membawa tim ke "zona pengetahuan baru".
Ketika juri datang menilai, siswa tampak antusias. Mereka tertawa, berdiskusi, bahkan berdebat mencari jawaban terbaik. Bu Kholis hanya berdiri di belakang, tersenyum bangga. Ia tahu, kebahagiaan belajar adalah kemenangan sesungguhnya.
Setelah lomba, salah satu juri berkata, " Bu Kholis, Anda tak hanya mengajar matematika. Anda menanamkan cinta pada berpikir."
Sore itu, di ruang guru, Bu Kholis menulis kalimat kecil di bukunya:
"Inovasi bukan kemewahan, melainkan keberanian mengubah kebiasaan."
Beberapa tahun kemudian, banyak muridnya tumbuh menjadi orang sukses—ada yang jadi insinyur, ada yang menjadi guru. Salah satunya, Aulia, kini mengajar di madrasah yang sama. Ia menatap papan tulis yang dulu pernah penuh coretan Bu Kholis dan berbisik dalam hati,
"Terima kasih, Bu. Anda bukan hanya mengajarkan rumus, tapi makna di balik setiap angka."
Karena sejatinya, guru sejati bukan sekadar menjelaskan logika, tapi menyalakan inspirasi.
Dan di antara angka-angka yang tak pernah bohong, terselip cinta seorang guru yang menginovasi dan menginspirasi.
Komentar
Posting Komentar